Jumat, 22 Januari 2010

Derita Korban Gempa Sumatera Barat

Gempa bumi berkekuatan 7,6 pada skala Richter (SR) benar-benar meluluhlantakkan kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Bahkan ratusan bocah usia sekolah di Kabupaten Padangpariaman kini terpaksa minta-minta sepanjang jalan raya.

"Tolonglah Pak. Tolonglah Bu. Beri kami sumbangan. Ala kadarnya saja. Rumah kami kanai gampo (kena gempa).” Nada penuh iba itu mengalir dari mulut Bella, bocah perempuan yang duduk di bangku kelas V SDN 01 Sicincin, Padangpariaman, ketika meminta sumbangan di Jalan Raya Bukittingi-Padang, tepatnya di Dusun Pila Jaya, Korong Kiambang, Nagari Lubuakpandan, Kecamatan 2X11 Enam Lingkung, Padangpariaman, kemarin (5/10) pukul 13.30 WIB.

Sesiang itu, Bella tidak sendiri. Bersama belasan teman sepermainannya, termasuk El yang tercatat sebagai pelajar kelas 3 SD Muhammadiyah, dia dengan cekatan menyetop mobil atau sepeda motor yang melintas di Dusun Pilla Jaya. Kemudian dia menyodorkan bekas kardus mi instan berisi uang recehan dan ribuan kepada para pengemudi. "Hari ini (kemarin, red), belum banyak yang Bela dapat," ujarnya polos, sambil membetulkan letak topi berlambang klub sepak bola asal Italia, Inter Milan.

Bella sudah tiga hari berada di jalan raya untuk mendapatkan lembaran rupiah dari para pengemudi yang peduli terhadap nasib mereka, korban gempa. Setiap hari, uang yang ia kumpulkan bersama teman-temannya cukup banyak juga.

Sayang, jumlahnya Bella tak tahu pasti. Tapi menurut bocah yang hari itu mengenakan kaos kuning, celana cokelat, dan sandal jepit merah, uang sumbangan yang mereka peroleh bisa digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan pokok, terutama beras, mi instan, dan air kemasan.

Pengakuan Bella secara tersirat dibenarkan sejumlah warga dewasa yang tinggal Dusun Pila Jaya, seperti Acin (45), Lina (44), dan Wati (40). Menurut mereka, sejak gempa terjadi, pasokan kebutuhan sehari-hari di Pila Jaya memang tersendat.

Sementara bantuan yang didapat dari pemerintah daerah hanya beberapa kilogram beras dan beberapa bungkus mi instan. Padahal, mereka tidak lagi bisa beraktivitas atau mencari nafkah seperti sedia kala. "Untung ada bantuan dari beberapa warga Sumbar serta sumbangan dari para pengemudi kendaraan yang dikumpulkan anak-anak. Dengan itulah, kami membeli berbagai kebutuhan pokok," ujar Acin, seraya meminta kepada bocah-bocah, agar tidak terlalu merengsek ke tengah jalan.

Fenomena bocah-bocah korban gempa Pariaman meminta-minta sumbangan di jalan raya tidak hanya terlihat di Dusun Pila Jaya. Beberapa kilometer dari tempat tersebut, juga tampak hal serupa. Di depan salah satu sekolah dasar di kawasan Kampungtangah, Parikmalintang, misalnya. Kemudian di Kampungtangah, Pungguang Kasiak, Kecamatan Lubuak Aluang.

Lalu jika Anda masih berputar-putar di Kabupaten Padangpariaman, banyaknya bocah yang terpaksa meminta juga dapat dilihat di kawasan Sintuk Toboh Gadang, Kecamatan Sintuk, Simpang Taluak Balibis, dan Nagari Pasialaweh serta sejumlah kawasan lain.

Sama halnya dengan para bocah di Pila Jaya, bocah-bocah di tempat tadi mengaku tidak disuruh untuk meminta sumbangan. Mereka sendiri yang secara sukarela berniat membantu orangtua.

Namun semangat para bocah membantu beban orangtua mereka karena gempa tentu juga tak bisa dibiarkan berlama-lama. Apalagi menurut informasi, sejak Selasa (6/10) ini, sebagian di antara mereka ada yang harus mulai masuk sekolah. "Kalau dibiarkan terus di jalan, tentu bisa-bisa mereka nanti tidak sekolah. Padahal, mereka juga punya masa depan," kata Azwardi (46), warga Kabupaten Limapuluh Kota yang sempat memberi sumbangan untuk para bocah.

Karena itu pula, menurut Sago Indra, seorang aktifis lembaga swadaya masyarakat yang ikut menjadi relawan gempa di Sumbar, tak ada pilihan yang harus dilakukan pemerintah daerah bersama Satkorlak selain memikirkan kebutuhan pokok korban gempa agar terpenuhi. Dengan begitu, mereka dapat menghentikan bocah masing-masing tidak lagi di jalan raya.(*)
Buruknya Penanganan Gempa Sumatera Barat
Sudah lebih dari sepekan bencana gempa di Sumatra Barat terjadi, tapi sejumlah persoalan besar masih saja bermunculan. Mulai kurangnya stok bahan makanan dan obat-obatan, amburadulnya koordinasi, hingga tersendatnya distribusi bantuan.


Berbagai persoalan semacam itu bukan hanya muncul di Sumatra Barat. Setiap ada bencana, setiap kali itu pula bangsa ini buruk dalam menanganinya.

Padahal, sudah ada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Isi UU itu tergolong lengkap dan komprehensif karena sudah mengatur tentang kelembagaan dari pusat sampai ke daerah, penanganan prabencana, saat bencana, pascabencana, hingga sanksi denda dan penjara.

Lewat UU itu pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2008 dan Badan Penanggulangan Daerah. Badan yang bersifat operasional nondepartemen setingkat menteri itulah yang bertanggung jawab acap kali muncul musibah bencana. BNBP menggantikan Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ada sebelumnya.

Kepala BNPB kini dijabat Syamsul Ma’arif dengan 19 anggota pengarah, sembilan di antaranya dipilih dari kalangan profesional oleh DPR melalui fit and proper test pada Februari lalu. Mereka adalah Sugimin Pranoto, Sudibyakto, Sarwidi, Thabrani, I Nyoman Kandun, KRT Adikoesoemo Prasetyo, Didik Eko Budi Santoso, Zainuddin Maliki, dan Agus Hasan Sulistiono Reksoprodjo.

Sayangnya, kendati sudah ada UU dan badan operasional, bangsa ini tetap saja gagap dalam mengatasi bencana. Faktor penyebabnya lagi-lagi lantaran buruknya komitmen dan implementasi UU.

Sebutlah misalnya perkara anggaran. Anggaran yang digelontorkan kepada BNPB hanya Rp100 miliar pada 2009 dan Rp172 miliar pada APBN 2010, dengan anggaran cadangan sebesar Rp3 triliun.

Padahal, bencana di Aceh, Yogyakarta, dan kini di Sumatra Barat, memperlihatkan skala kerusakan yang sangat besar dan meluas. Lebih dari itu, kebutuhan dana tidak saja ketika terjadi bencana, tapi juga diperlukan sebelum dan sesudah bencana. Itu semua jelas membutuhkan dana yang lebih besar.

Buruknya komitmen pemerintah tidak cuma di pusat. Sekalipun undang-undangnya telah terbit pada 2007, dan BNPB telah dibentuk 2008, Badan Penanggulangan Daerah Sumatra Barat, contohnya, baru terbentuk Juli 2009. Umurnya baru tiga bulan ketika gempa terjadi di Padang dan Padang Pariaman. Akibatnya, badan itu belum memiliki anggaran sendiri dan sudah pasti organisasi yang masih bayi itu tertatih-tatih menghadapi bencana yang hebat.

Pelajaran yang harus dipetik ialah selain perlu meningkatkan anggaran, pemerintah juga harus segera membentuk badan-badan penanggulangan bencana di semua wilayah yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Namun, apakah gunanya semua badan itu bila koordinasi buruk? Jadi, yang juga tak kalah penting adalah meningkatkan mutu koordinasi sehingga bantuan dapat disalurkan dengan cepat, utuh, dan merata di semua wilayah bencana.
TRAGEDI akibat gempa bumi 7,6 skala Richter yang mengguncang Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009), menunjukkan betapa rapuhnya kita manusia (khususnya di Indonesia) terhadap alam. Tapi apakah kita mesti menyalahkan alam? Lalu apakah kita juga akan menggugat Tuhan?

Justru karena kemurahan Tuhan lah maka kita ada. Dia telah menciptakan alam semesta untuk kita. Dia mempercayakan alam seutuhnya kepada kita untuk mengelola sebaik-baiknya bagi penghidupan kita. Dia bahkan memberikan kepada kita akal dan kemampuan berpikir melebihi makhluk apa pun di muka bumi agar bisa menguasai alam semesta.

Hanya kita saja yang belum memahami kehendak Tuhan secara baik. Demikian pula kita belum mampu memahami “kemauan” alam secara baik. Inilah kelemahan kita sebagai manusia. Kita menepuk dada, seolah-olah kita hebat. Mulai lah kita membangun ini itu sesuka hati kita. Kita membangun tanpa mempertimbangkan kaidah mitigasi dan sama sekali tidak bersahabat dengan alam.

Ketika terjadi fenomena alam yang ekstrim, gempa bumi misalnya, baru kita terkejut. Begitu banyak orang tewas sia-sia. Tubuh-tubuh remuk tertimpa reruntuhan bangunan. Ada pula yang tertimbun tanah longsor. Kita terlihat tak berdaya sama sekali.
tragedi yang sudah berlalu dan mengulangi kekonyolan demi kekonyolan. Kita tak ubahnya keledai bebal yang kembali jatuh di lubang yang sama.

Padahal, kita sesungguhnya bisa menghindari jatuhnya banyak korban bila memiliki kesadaran dan memahami fenomena alam yang ekstrim sekalipun di lingkungan kita. Kita sebenarnya sudah menyadari bahwa Indonesia terletak pada cincin api (ring of fire) atau daerah rawan gempa tektonik maupun vulkanik. Tapi kita sering abai.
Coba tengok bangunan-bangunan rumah kita. Perhatikan juga gedung-gedung sekolah, gedung kampus, maupun gedung-gedung pemerintah yang dipercayakan pembangunannya kepada para pemborong. Apakah sudah dibangun di daerah yang aman sesuai tata ruang yang memerhatikan peta rawan bencana? Ataukah kita justru membangun gedung bobrok di lokasi rawan pula? Demikian pula bangunan-bangunan tua. Apakah kita senantiasa mengamati daya tahannya secara baik?

Baiklah. Bencana hari ini membuat kita menangis. Tapi ini sekaligus peringatan bagi kita agar lebih siap di masa mendatang. Agar kita melakukan koreksi dan lebih memerhatikan tata ruang yang sesuai kaidah mitigasi (mengurangi beban bencana). Demikian pula mendirikan bangunan-bangunan tahan gempa, tanpa menyunat anggaran demi meraup keuntungan berlipat.Mitigasi adalah tindakan terencana dan berkelanjutan agar bisa mengurangi dampak jangka panjang atas kehidupan dan properti di satu daerah yang terkena bencana. Rencana pembangunan harus memenuhi empat syarat mitigasi, yakni mengatur sumber daya, mempelajari dampak dan risiko, mengembangkan rencana mitigasi, dan menerapkan rencana dan memantau progres.

Demikian pula soal penerapan early warning system atau sistem peringatan dini. Melihat bencana-demi bencana yang terjadi dan terus memakan banyak korban jiwa dan harta benda, merupakan gambaran bahwa sistem tersebut belum berjalan baik.

Bila itu semua dijalankan secara baik, niscaya kita bisa menghindari dampak dari fenomena alam seperti gempa bumi, banjir, tsunami, dan berbagai-bagai fenomena alam ekstrim lainnya. Maka dari itu, yang sudah terjadi harus kita jadikan pelajaran agar lebih siap. Bukan menyalahkan alam, menyerah pada takdir, apalagi menggugat Tuhan, ketika fenomena alam yang ekstrim berbuah bencana.

Minggu, 10 Januari 2010

Latar belakang

Provinsi Sumatera Barat berada di antara pertemuan dua lempeng benua besar (lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia) dan patahan (sesar) Semangko. Di dekat pertemuan lempeng terdapat patahan Mentawai. Ketiganya merupakan daerah seismik aktif. Menurut catatan ahli gempa wilayah Sumatera Barat memiliki siklus 200 tahunan gempa besar yang pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya siklus.

Kejadian gempa

Peringatan tsunami sempat dikeluarkan namun segera dicabut dan terdapat laporan kerusakan rumah maupun kebakaran. [11] Sejumlah hotel di Padang rusak, dan upaya untuk mencapai Padang cukup susah akibat terputusnya komunikasi. [12] Korban tewas akibat gempa terus bertambah, dikhawatirkan mencapai ribuan orang.[13] Namun demikian, hingga tanggal 4 Oktober 2009, angka reBencana terjadi sebagai akibat dua gempa yang terjadi kurang dari 24 jam pada lokasi yang relatif berdekatan. Pada hari Rabu 30 September terjadi gempa berkekuatan 7,6 pada Skala Richter dengan pusat gempa (episentrum) 57 km di barat daya Kota Pariaman (00,84 LS 99,85 BT) pada kedalaman (hiposentrum) 71 km. Pada hari Kamis 1 Oktober terjadi lagi gempa kedua dengan kekuatan 6,8 Skala Richter, kali ini berpusat di 46 km tenggara Kota Sungaipenuh pada pukul 08.52 WIB dengan kedalaman 24 km.[5] [6]Setelah kedua gempa ini terjadi rangkaian gempa susulan yang lebih lemah. Gempa pertama terjadi pada daerah patahan Mentawai (di bawah laut) sementara gempa kedua terjadi pada patahan Semangko di daratan.[7] Getaran gempa pertama dilaporkan terasa kuat di seluruh wilayah Sumatera Barat, terutama di pesisir. Keguncangan juga dilaporkan dari Padangsidempuan, Medan, Kuala Lumpur, Singapura, Pekanbaru, Jambi, dan Bengkulu. Dilaporkan bahwa pengelolaan sejumlah gedung bertingkat di Singapura mengevakuasi stafnya. [8] Kerusakan parah terjadi di kabupaten-kabupaten pesisir Sumatera Barat, bagian selatan Sumatera Utara serta Kabupaten Kerinci (Jambi). Sementara Bandar Udara Internasional Minangkabau mengalami kerusakan pada sebagian atap bandara (sepanjang 100 meter) yang terlihat hancur dan sebagian jaringan listrik di bandara juga terputus[9]. Sempat ditutup dengan alasan keamanan, bandara dibuka kembali pada tanggal 1 Oktober.


Akibat

Peringatan tsunami sempat dikeluarkan namun segera dicabut dan terdapat laporan kerusakan rumah maupun kebakaran. [11] Sejumlah hotel di Padang rusak, dan upaya untuk mencapai Padang cukup susah akibat terputusnya komunikasi. [12] Korban tewas akibat gempa terus bertambah, dikhawatirkan mencapai ribuan orang.[13] Namun demikian, hingga tanggal 4 Oktober 2009, angka resmi yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah 603 orang korban tewas dan 343 orang dilaporkan hilang.[14] Pada tanggal 13 Oktober 2009, angka korban tewas meningkat menjadi 1.115 jiwa.[15]Pertolongan yang sangat dibutuhkan oleh korban gempa terutama adalah kekurangan obat-obatan, air bersih, listrik, dan telekomunikasi, serta mengevakuasi korban lainnya.[16]


Selasa, 17 November 2009










Liputan6.com, Padang: Gempa berkekuatan 7,6 skala Richter yang mengguncang Pariaman, Sumatra Barat, Rabu (30/9) petang, juga dirasakan warga Medan, Sumatra Utara. Seperti di pusat perbelanjaan Sun Plaza di Jalan Zainul Arifin. Ratusan pengunjung yang sedang berada di dalam gedung ini langsung lari berhamburan menyelamatkan diri.

Kondisi serupa juga terlihat di kompleks perkantoran Bank Danamon, Jalan Diponegoro. Sejumlah pekerja terlihat panik dan lari keluar gedung meski aktivitas kantor masih berlangsung. Menurut seorang pegawai bank, meski gempa hanya berlangsung sekitar 6 detik, getarannya cukup terasa. Khawatir ada gempa susulan, mereka yang umumnya beraktivitas di gedung bertingkat memilih pulang lebih cepat.

Sabtu, 31 Oktober 2009

TRAGEDI GEMPA SUMATERA BARAT
Bangsa Indonesia kembali mendapat ujian Tuhan. Gempa bumi yang menimpa Sumatera Barat
dan sekitarnya yang demikian dahsyat (7,6 skala Richter), Rabu pekan lalu, benar-benar
merupakan peringatan Tuhan bahwa kita, bangsa Indonesia, harus selalu waspada dan
menyiapkan diri untuk menghadapi gempa setiap saat. Gempa di Sumatera Barat, yang hanya
berselang 28 hari dari gempa Jawa Barat, menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia--seperti
halnya bangsa Jepang--harus rajin belajar dan bekerja keras untuk mengatasi tantangan alam,
khususnya gempa bumi, yang setiap saat melanda. Dengan kondisi alamnya yang
bergunung-gunung dan banyak gempa melanda negerinya, seperti halnya Indonesia, Jepang
bisa membangun negaranya dengan maju dan modern. Bila hal itu menjadi pandangan dan
obsesi bangsa ke depan, sikap optimisme kita akan jauh lebih besar ketimbang sikap
pesimisme dalam menghadapi bencana alam.
Barangkali itulah hikmah yang harus kita petik dari rentetan peristiwa gempa bumi yang sering
melanda Tanah Air. Apalagi gempa Sumatera Barat 30 September ini, yang kebetulan terjadi
pada hari yang amat bersejarah dan mudah dikenang. Pertama, terjadi pada 30 September,
mengingatkan bangsa Indonesia pada peristiwa sejarah pemberontakan Partai Komunis
Indonesia. Bangsa Indonesia berhasil mengatasi peristiwa sejarah amat berdarah tersebut.
Kedua, gempa Sumatera Barat terjadi hanya sehari menjelang pelantikan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat periode 2009-2014--anggota DPR paling bersejarah karena mereka adalah
wakil-wakil rakyat yang dipilih berdasarkan suara terbanyak. Ini adalah wakil rakyat pertama
sejak Orde Baru yang dipilih langsung oleh rakyat dan ditentukan sepenuhnya oleh suara
terbanyak. Dengan demikian, di balik gempa Sumatera Barat ini tersimpan banyak sekali
makna dan harapan untuk bangsa Indonesia. Indonesia harus selalu siap menghadapi peristiwa
besar apa pun yang menimpanya. Setelah itu, harapannya, Indonesia harus selalu belajar dari
peristiwa-peristiwa besar untuk melangkah ke depan agar tidak terjebak pada
persoalan-persoalan kecil yang menyita waktu.

Kamis, 15 Oktober 2009

hai orang -orang masyarakat sebarkan sumbangan yg da di sumatra barat dan di aceh...............